Damar Kurung, Upaya Memuliakan Warisan Leluhur
Gresik.
Gresik
sebagai kota pesisir mempunyai akar budaya yang cukup kaya dan
berwarna. Berbagai kebudayaan itu muncul karena mudahnya akulturasi
antara pendatang dengan penduduk lokal. Salah satu budaya yang masih
diuri-uri dan tetap menjadi ikon salah satu
kota gresik adalah Damar Kurung.
Damar Kurung juga merupakan
ikon kota yang tertua di Kota Gresik seperti yang tertulis pada
buku Mocopat karena
Damar kurung telah ada sejak zaman Pemerintahan Sunan Giri, Kolonial
Belanda dan Jepang, hingga sekarang. Damar Kurung sendiri merupakan
karya seni unik. Dalam pandangan seni rupa, lukisan-lukisan nenek ini sedemikian unik.
Ada yang menyebut bergaya naif, kekanakkanakan, dan dia melukis seperti meluncur begitu saja. Maka seorang perupa asal Gresik, Imang AW tertarik
untuk mengangkatnya dalam khasanah lukisan pada umumnya. Masmundari
diminta melukis dengan bahan dan alat melukis yang lebih bagus, melukis
di atas selembar kertas, kemudian dibingkai sebagaimana lukisan pada
umumnya.
Maka jadilah lukisan gaya Masmundari
yang menarik banyak kalangan dalam pameran di Jakarta dan hotel-hotel
besar serta mendapat perhatian dari petinggi negeri termasuk Presiden RI
Soeharto. Akan tetapi, dalam kenyataannya Damar Kurung terancam punah.
Setelah Mbah masmundari wafat, tradisi
seni lukis Damarkurung kini dilanjutkan oleh Rukayah (60), anak
tunggalnya. Rukayah bersama anaknya kini yang meneruskan membuat damar
kurung. Menurut Rukayah Damarkurung merupakan kesenian lukisan tangan
asli dari daerah pesisir. “Damar kurung merupakan warisan dari leluhur.
Itu yang diajarkan Mbah Masmundari pada setiap
keluarga disini,” katanya mengisahkan sambil jemarinya terus membuat damar kurung.
Dia berkisah dulunya dia juga diajarkan untuk membuat Damarkurung. “Walaupun saya anak tunggal dari Ibu Masmundari, namun malah
saya belara banyak sejak umur 15 tahun dari bibi saya bernama
Masriyatun,” ujarnya. Hal senada disampaikan Nur Samadji, salah satu
cucu Mbah Masmundari juga menggeluti dunia lukis Damarkurung.
“Kami disuruh oleh Mbah Masmundari untuk
meperkenalkan dan ajarkan ke anak cucu kami karena ini adalah warisan
dari leluhur,” katanya. Nur Samadji yang beristrikan Juminingsih setiap
harinya b rjibaku menghidupkan Damarkurung. “Selain menerima pesanan,
juga membuat Damarkurung untuk oleh-oleh dengan berbentuk kecil mungil
seperti ini,” katanya sambil memperlihatkan damarkurung
berukuran 10 cm.
Menurut pengakuannya, keluarga besarnya
biasanya juga membuat damar kurung pesanan. “Mulai dari pesanan Jepang
pernah kami membuatkan, Kalimantan serta kota Gresik. Kami cuma
meneruskan usaha damar kurung, kalau kami mebikin tergantung pesanan
tapi juga buat stok,” ujarnya.
Damar Kurung Warisan Giri Prapen
Damar kurung tak hanya dikenal di
pesisir Gresik. Damar kurung bisa dijumpai di wilayah Semarang yang
memang dikenal sebagai tempat persinggahan kapal-kapal dari negeri China
zaman dulu. Damar kurung yang biasa disebut ting-tingan Ramadhan ini biasa dijajakan dalam dhugdheran
(pasar malam yang hanya ada sepanjang bulan Puasa) masih terselip
penjual damar kurung. Biasanya berwarna merah atau putih dengan lukisan
sederhana, dari luar bayangan kerbau, naga, petani, gerobak, penari,
burung, becak, bahkan pesawat, tampak bergerak.
Damar kurung mengadaptasi lampion yang
dipakai warga Tionghoa sebagai wujud kesempurnaan dan keberuntungan.
Dulu jika ada warga yang kesripaan (ada yang kesusahan karena
di antara anggota keluarga ada yang meninggal dunia) maka lampion putih
dipasang berpasangan di depan rumah yang melambangkan duka cita.
Biasanya lampion persegi atau oval berwarna putih ini dibubuhi kaligrafi
berisi penggalan syair China kuno. Sebaliknya, lampion bulat berwarna
merah menjadi symbol keberuntungan dan kesempurnaan.
Membuat damar kurung tidak mudah,
terutama menyetel agar posisi sumbu yang mengeluarkan asap bisa tetap
stabil. Asap yang keluar dan tertiup angin inilah yang memutar kipas
kertas dan membuat kertas-kertas minyak itu berputar. Sebagaimana
lampion, damar kurung dalam upacara Ngaben di Bali pun memiliki makna.
Damar kurung dipasang di depan rumah duka, yang diyakni sebagai penunjuk
arah bagi perjalanan roh. Hubungan sejarah masa lalu antara Cina dan
Bali memang mengingatkan bahwa damar kurung ‘berkarib’ atau varian dari
lampion. Bukan hanya damar kurung, ditengarai barong yang dikenal di
Bali juga beralian erat dengan tari singa barong Cina. Penyebaran singa
barong Cina ini kemungkinan besar masuk ke Bali pada masa pemerintahan
Dinasti Tang di Cina sekitar abad ke-7 hingga abad ke-10.
Di Gresik, lampion yang di terjemahkan
menjadi damar kurung sudah lekat denan tradisi sejak abad ke-16. saat
itu, adalah masa aktif Sunan Prapen, sunan ketiga sesudah Sunan Giri,
seorang penyebar agama Islam di
Jawa Timur.
Sampai tahun 1970-an, sebagai kerajinan, damar kurung juga dikerjakan
masyarakat Jawa Tengah maupun Jawa Barat. Kebanyakan dammar kurung ini
dibuat tanpa gambar, hanya beberapa bagian damar kurung saja yang
memiliki gambar.
Di Jepara ada tradisi menyalakan damar kurung yang dinamakan Baratan. Tradisi
ini dilaksanakan setiap pertengahan bulan Sya’ban (Jawa: bulan Ruwah).
Hal ini berkait dengan legenda Sultan Hadlirin, suami Ratu Kalinyamat
(Retno Kencono), putri Sultan Trenggono yang juga Adipati Jepara
(1549-1579). Suatu ketika tibalah sang penguasa di Desa Purwogondo (kini
pusat Kecamatan Kalinyamatan). Tiba-tiba kuda yang ditungganginya lari
menghilang. Kemudian bersama-sama warga, ia mencari kuda dengan bantuan
lampu impes (lampion). Tradisi ini tetap dilakukan dengan
membawa lampion berkelap-kelip. Ketika listrik sudah masuk desa, tradisi
ini pelahan memudar.
(sumber:gresik.co)